Senin, 30 Agustus 2010

Tak Sebatas Ramadhan

Seorang nenek terus menjerit dan meronta-ronta tak rela dirinya ditangkap dan di seret ke mobil penampungan. Namun para lelaki berpakaian seragam itu bagai tak kenal ampun. Lebih miris lagi ketika seorang bocah ditangkap dengan cara yang serupa. Sama halnya dengan nenek tadi, bocah tersebut juga menangis histeris, membuat hati saya pilu.
Itulah sebuah tayangan video dari kanal berita yang sempat saya saksikan beberapa waktu lalu tentang bagaimana para aparat penertiban berhasil menciduk 'para pengemis musiman'. Hampir setiap hari di bulan penuh keberkahan ini berita serupa menyeruak di layar TV.
Kejadian di atas menimbulkan tanya dalam hati, mengapa selalu ada razia tersebut di setiap bulan suci Ramadhan? Mungkinkah hal ini karena di saat tersebut pada umumnya umat Islam sedang bergiat dan bersemangat melakukan banyak amal kebajikan termasuk dalam hal berderma atau bersedekah?
Sebagaimana Rasulullah saw. telah memberikan teladannya bagi kita mengenai hal tersebut.
Dalam sebuah hadits, Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas ra. berkata, “Rasulullah saw adalah manusia paling dermawan dan lebih dermawan pada bulan Ramadhan ketika Jibril menemuinya untuk mengajari Al-Qur'an di setiap malam pada bulan itu. Kedermawanan Rasulullah saw pada saat itu lebih baik dari angin sepoi-sepoi” (angin yang bertiup terus menerus dan bermanfaat).
Demikian juga dengan hadits riwayat Baihaqi dari Aisyah ra.,”Rasulullah saw jika memasuki bulan Ramadhan, beliau membebaskan tawanan dan memberi setiap orang yang meminta”.
Adakah keadaan ini menjadikan sebagian orang menganggap bulan Ramadhan sebagai peluang untuk mendulang uang dengan cara mengemis?
Saya jadi teringat dua orang sahabat saya di Berlin. Tak pernah saya sangka sebelumnya, ternyata di ibukota negara tempat di mana pernah berdiri tembok penyebab tragedi kemanusiaan ini, Allah justru mendidik saya bagaimana menumbuhkan rasa saling menyayangi melalui kehadiran mereka dalam episode hidup saya. Berinteraksi dengan mereka, bagi saya telah menggoreskan kesan yang sarat dengan pelajaran berharga.
Sebutlah salah seorang dari mereka sebagai Salma. Ia seorang muslimah Irak yang
datang ke Berlin untuk mendampingi suaminya studi program Doktor atas beasiswa pemerintah Jerman. Saya mengenalnya ketika seorang sahabat dari Indonesia mengenalkan saya padanya. Alhamdulillah, kami bertiga tinggal di apartemen yang sama.
Sejak perkenalan itu, hampir setiap hari Salma datang ke tempat saya. Terkadang sebelum berangkat atau sepulang dari kursus bahasa Jerman di Anton Strasse yang letaknya tak jauh dari tempat tinggal kami. Setiap kali datang, ada saja yang dibawa Salma. Seringkali ia membawa makanan khas Irak yang dimasaknya sendiri. Terkadang ia membawa buah tangan lainnya yang mungkin bagi sebagian orang merupakan sesuatu yang remeh, berupa jepit atau ikat rambut, bros, kaus kaki dan lain-lain.
Tak hanya sebatas itu yang dilakukan Salma, waktu dan ilmu pun ia berikan. Di sela kesibukannya mengajar di sebuah Islamic center di daerah Dronheimer Strasse, ia masih meluangkan waktu satu hari dalam seminggu demi memenuhi permintaan saya dan sahabat yang telah mengenalkan saya padanya untuk belajar bahasa Arab. Dengan sepenuh hati ia mengajari kami bahasa tersebut dengan tekun dan sabar.
Ada satu momen yang selalu saya ingat. Saat itu seperti biasa kami berkumpul di rumahnya untuk belajar bahasa Arab. Tiba masanya kami rehat, Salma menghidangkan masakan spesial yang ia tujukan untuk syukuran akan kehadiran janin di rahim saya. Benar-benar tidak saya sangka, Salma yang lama merindu kehadiran buah hati, memberi kejutan ini untuk saya.
Seorang lagi sahabat saya, sebutlah ia Sabrina, adalah seorang mualaf berkebangsaan Jerman yang telah menikah dengan seorang dokter dari Yaman dan saat itu telah dikaruniai seorang balita yang tampan. Saya mengenalnya pertama kali saat belajar bahasa di tempat Salma. Sabrina diajak Salma untuk bergabung dengan kami.
Sabrina memiliki warna kepribadian tak jauh berbeda dengan Salma. Tiap kali ada kesempatan silaturahim ke tempat Salma, ia akan selalu sempatkan pula datang ke tempat saya dan berbuat hal yang sama dengan Salma.
Pernah suatu ketika saat saya terbaring sakit hanya ditemani si sulung yang baru berumur 1 tahun. Mereka berdua datang sambil membawa sesuatu yang mereka sebut kejutan untuk saya. Mereka berharap saya senang menerimanya dan meminta saya untuk membukanya saat itu juga.
Tak tega menolak segala perhatiannya, saya pun memenuhi permintaan mereka. Ternyata Salma menghadiahi saya sebuah mantel kashmir berwarna hitam, yang pastinya akan sangat nyaman saat dipakai musim gugur maupun musim dingin. Sementara itu Sabrina membawakan saya sehelai gamis berwarna coklat muda, membuat saya terkenang pada perjumpaan pertama dengannya (dimana saat itu ia mengenakan gamis serupa berwarna hijau muda dibalik mantel kashmir hijau tua dan balutan jilbab hijau muda yang membuat kecantikannya terpancar anggun).
Ketika mereka melihat pemberiannya itu terlalu besar untuk tubuh saya, Sabrina dengan segera mengukur tubuh saya dan berjanji akan memotong sekaligus menjahitkan kembali hingga akhirnya saya bisa memakainya. Subhanallah! Luar biasa perhatian dan kasih sayang mereka berdua. Saya benar-benar merasakan manisnya buah ukhuwah.
Dan satu kebiasaan lain dari mereka yang saya kenang, yaitu usai mengucap salam ketika kami berjumpa maupun berpisah, tak pernah terlewat dari lisan keduanya kalimat cinta, “Ana uhibbuki fillah, Ukhti!”, membuat saya terharu dan hanya mampu mengucap hal yang sama.
Dalam suatu kesempatan berbincang dengan Salma, saya mohon padanya supaya ia dan Sabrina tak perlu repot-repot membawakan buah tangan bila datang ke tempat saya. Dengan tersenyum ia menjawab, “semua yang kulakukan ini karena dalam hadits riwayat Ath-Thabrani, Rasulullah saw., berwasiat ”Sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah setelah amal fardhu, yaitu memberikan kegembiraan pada orang muslim”, juga dalam hadits lain Rasulullah saw., berkata, “bahagiakan dirimu dengan membahagiakan orang lain.”
Subhanallah! Jawabannya yang disandarkan pada hadits tentang ahlak mulia Rasulullah saw ini, benar-benar berkesan di hati saya. Untuk kesekian kalinya rasa haru membuncah dan saya catat di hati sebagai sebuah pelajaran berharga. Bercermin pada kebiasaan mereka yang selalu berusaha memberi dan membahagiakan orang lain dengan tulus, saya merasa masih harus banyak berlatih untuk dapat berbuat demikian, bagaimana dengan Anda?
Ramadhan memberi kesempatan banyak bagi kita untuk mengasah kepekaan dan kepedulian terhadap sesama terutama kepada para dhuafa, bersama mereka berbagi rezeki yang Allah titipkan pada kita, juga terus belajar membahagiakan diri dengan cara membahagiakan orang lain. Ramadhan bisa menjadi awal pembiasaan bagi kita untuk mengamalkan hadits yang menjadi landasan Salma dan Sabrina dalam mengekspresikan rasa peduli dan kasih sayang mereka pada sesama.
Bila setiap kita bisa berbuat demikian tak hanya sebatas Ramadhan, melainkan terus menerus hingga menjadi kebiasaan yang mendarah daging, semoga tayangan razia pengemis di setiap Ramadhan tiba, tak akan pernah kita lihat lagi, amiin.
Wallahu'alam.

Minggu, 22 Agustus 2010

Puasa Itu Menahan, Bukan Menunda

Hari terus berganti, waktupun berlalu. Tak terasa puasa kita sudah memasuki putaran sepuluh hari yang kedua. Alhamdulillah, Allah masih memberikan kepada kita nikmat umur, nikmat sehat, dan terutama nikmat iman, islam dan hidayah sehingga kita bisa meneruskan puasa hingga genap sebulan, insya Allah.
Sebagai bekal menjalani sepuluh hari kedua dan ketiga, penting kiranya kita menginterospeksi, mengukur diri, seberapa sukses puasa kita di sepuluh hari pertama. Apakah di mata Allah puasa kita bernilai ibadah, ataukah hanya sekedar mendapatkan lapar dan dahaga saja.
Adalah sangat rugi bila perjuangan menahan lapar, haus dan tidak berhubungan badan sepanjang siang tidak bernilai ibadah. Banyak orang yang benar-benar hanya mendapatkan lapar dan dahaga karena ketika berpuasa anggota tubuh mereka lainnya melakukan hal-hal yang bisa mengurangi bahkan menghilangkan pahala sama sekali. Mata, telinga, mulut, tangan, kaki dan juga hati mungkin tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa, tapi melakukan hal dan perbuatan yang bisa membakar pahala puasa.
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta, dan pengamalannya, serta amal kebodohan, maka Allah tidak butuh pada amalannya meninggalkan makan dan minumnya. (HR. Bukhari).
Kita memang tidak bisa mengetahui secara pasti seberapa besar nilai ibadah puasa kita di mata Allah. Tapi kita bisa mengusahakan agar puasa kita mendekati sempurna, bukan sekedar tidak makan, tidak minum dan tidak berhubungan badan di siang hari. Kita bisa mengoreksi diri sendiri, seberapa banyak dan seberapa jauh kemampuan kita menahan nafsu, mengendalikan emosi sepanjang hari - siang dan malam - dari hari ke hari. Apakah puasa kita di siang hari telah membawa perubahan di malam hari? Ataukah keduanya masih berjalan berlawan arah, berpuasa di siang hari namun tetap bermaksiat di malam hari?
Prihatin rasanya, ketika satu waktu sepulang dari mushola mendapati sepasang muda-mudi sedang asyik berduaan. Meski bukan di tempat sepi, tapi tetap saja yang mereka lakukan tidak dibenarkan agama. Sepertinya sholat taraweh di mushola hanya dijadikan alasan untuk melegalkan agenda keluar rumah. Rencana yang sebenarnya adalah janji bertemu dengan pujaan hati. Bila diingatkan, mereka berkilah. “Kita juga tahu kalau orang puasa tidak boleh pacaran, bisa mengurangi pahala puasa. Tapi ini kan malam, kita tidak sedang berpuasa kok!” begitu alasan mereka. Astaghfirulloh! Larangan berpacaran itu bukan saja ketika sedang berpuasa, di dalam bulan puasa. Tapi berlaku sepanjang masa, baik siang maupun malam, baik di dalam maupun di luar bulan Ramadhan. Tak ada alasan yang bisa digunakan untuk membenarkan apa yang kalian lakukan.
Juga sedih rasanya ketika mendapati orang-orang yang asyik bergunjing selesai tarawih atau mengakses situs-situs porno di warnet dan hp. Mana, kemana efek puasa yang telah mereka jalani sepanjang hari tadi? Astaghfirulloh! Hampir tak terlihat sama sekali. Seakan-akan puasa dan segala hal yang dijaganya berakhir ketika datang waktu berbuka.
Puasa itu menahan, mengendalikan, bukan menunda. Sehingga ketika waktu berbuka telah tiba, semestinya kita tetap mampu menahan dan mengendalikan nafsu, bahkan hingga ketika bulan Ramadhan telah berlalu. Puasa bukanlah menggeser waktu, dari siang menjadi malam. Siang berpuasa, malam hari puas-puasin. Siang di tahan-tahan, ketika malam layaknya orang balas dendam.
Kata “puasa” dalam bahasa Arab, adalah “Ash-Shaumu” atau “Ash-Shiyaamu”. Sedangkan kata “Ash-Shiyaamu” menurut bahasa Arab adalah semakna dengan “Al-Imsaku” artinya : menahan dari segala sesuatu, seperti menahan makan, menahan bicara, menahan tidur, atau dengan kata lain: mampu mengendalikan diri dari segala sesuatu (Al-Imsaaku wal-kaffu ‘anisy-syai) Sedangkan puasa (Ash-shiyaamu) menurut istilah (syari’at) agama Islam ialah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan (membukakan) selama satu hari penuh, sejak dari terbit fajar sampai dengan terbenamnya matahari dengan niat mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT. ( Dari berbagai sumber )
Mari kita jaga dan hormati bulan Ramadhan yang suci dan mulia ini. Kita manfaatkan bulan penuh barokah dan ampunan ini untuk mendidik diri kita menjadi pribadi yang taqwa. Puasa memang di siang hari, tapi Ramadhan bukan hanya siang, termasuk juga malam. Sayang sekali jika selama dua belas jam lebih kita menahan lapar, haus dan dorongan nafsu yang ketika di luar puasa halal kita lakukan, tapi ketika waktu berbuka datang, kita seolah lupa dengan segalanya. Kita seperti seorang pendendam yang bertemu setelah sekian lama menunggu. Meski makan, minum dan berhubungan suami istri halal di malam hari, tapi semestinya tetap dilakukan dengan terkendali.
Puasa yang sukses semestinya membawa perubahan sikap dan kepribadian seseorang. Ketika puasa dijalankan sebulan penuh, seharusnya cukup untuk mendidik kita dalam menghadapi sebelas bulan berikutnya. Sangat sayang jika puasa yang kita kerjakan tidak menghasilkan apa-apa. Puasa perut dan syahwatnya, tapi mata, telinga, tangan, kaki dan hatinya berlaku seperti biasa, mengikuti nafsu belaka. Jangankan sebelas bulan berikutnya, sehari-harinya saja tak lebih dari sekedar perubahan gaya hidup, pengalihan waktu dari siang ke malam saja. Astaghfirulloh! Sungguh, semoga kita tidak termasuk golongan yang demikian. Amin.

Sabtu, 21 Agustus 2010

Dapatkah Puasa Mencegah Dusta?



Ibadah puasa sebuah ibadah yang diwajibkan oleh Allah Azza wa Jalla adalah sebuah ibadah yang unik. Ibadah yang hanya diketahui antara yang melakukannya dengan Rabbnya. Ibadah ini akan menjadi sarana melatih kejujuran pada diri setiap orang.
Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam dengan caranya telah menunjukkan tujuan puasa yang sebenarnya, dan menerangkan bahwa dengan melaparkan dan menghauskan diri, tanpa mengingat tunjuan puasa yang sebenarnya, maka puasanya menjadi tidak berguna. Beliau mengatakan :
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan yang keji (dusta) dan melakukan kejahatan (kepalsuan), Allah tidak akan menerima puasanya, sekalipun ia telah meninggalkan makan dan minum”. (HR.Bukhari, Muslim, dan Ahmad dari Abu Hurairah).
Dalam hadist yang lainnya :
“Banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak memperoleh apa-apa selain lapar dan haus, dan banyak orang yang bangun di malam hari tidak memproleh apa-apa selain berjaga malam”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Maksud dari kedua hadist itu sangat jelas. Yakni, semata-mata melaparkan dan menghauskan diri bukanlah ibadat, tapi hanyalah suatu alat untuk melaksanakan ibadat yang sebenarnya. Dan ibadat sebenarnya adalah mentaati hukum dan aturan Allah, karena takut kepada-Nya, dan mengerjakan hal-hal yang mendatangkan ridho-Nya.
Selanjutnya, tujuan puasa berkaitan dengan iman dan mawas diri (introspeksi). Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam menyuruh kaum muslimin untuk memperhatikan tujuan puasa yang sebenarna. Sabda Rasulullah :
“Barangsiapa menjalankan puasa dengan pnuh iman dan mengharpakan akan keridhaan Allah, maka akan diampuni semua dosanya yang telah lalu”. (HR.Bukhari Muslim)
Iman berarti kepercayaan kepada Allah, dan harus selalu ada dalam hati da pikiran seorang mulsim. Ihtisab berarti seorang muslim, yang hanya mengharakan ridha Allah semata, dan terus-menerus menjaga agar pikiran dan tindakannya tidak bertentangan dengan ridha Allah. Apabila seorang menjalankan puasa sesuai dengan kedua prinsip ini akan diampuni seluruh dosanya. “Orang yang selalu bertaubat adalah seperti orang yang belum pernah berbuat dosa sebelumnya”.
Dibagian lain, puasa tujuan menjadi perisai dari dosa. Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam, menegaskan dalam sebuah hadist :
“Puasa adalah bagaikan perisai (yakni perisai yang melindungi diri dari serangan setan). Karena itu orang yang berpuasa hendaklah (menggunakan perisainya dan) mencegah diri dari hal-hal yang dilarang dan tidak patut. Apabila ada seorang yang mencela dan mengajak bertengkar dengan hendaklah ia berkata : “Aku sedang berpuasa (dan jangan libatkan aku dalam perbuatanmu)”.
Kemudian, dalam hadist-hadist lainnya Rasulullah Shallhau alaihi wa sallam telah memberi petunju bahwa orang yang sedang berpuasa hendaklah banyak-banyak mengerjakan amal kebaikan. Khususnya selama ia berpuasa hendaklah mengembangnkan dalam dirinya rasa simpati terhadap saudara-saudaranya sesama muslim. Dengan merasakan lapar dan haus, ia dapat merasakan apa yang dirasakan oleh saudara-saudaranya yang miskin dan sengsara, hal ini seperti diriwayatkan oleh Ibn Abbas, bahwa Rasulullah selama bulan Ramadhan banya bersedekah. Tak seorang pun pengemis yang kembali dari pintu rumahnya dengan tanpa hampa. Ini menandakan betapa peraaan kasih yang dimiliki oleh Rasulullah terhadap orang-orang fakir.
Di bulan Ramadhan ini, menurut hadist Rasulullah shallahu alaihi wa sallam, mengatakan :
“Barangsiapa memberi makanan untuk berbuka puasa kepada orang yang berpuasa, maka hal itu akan menjadi ampunan dan keselamatan baginya dari api neraka, dan dia akan memperoleh pahala sebanyak pahala orang yang berpuasa itu, tanpa dikurangi sedikitpun”.
Apakah semua yang kita lakukan di bulan Ramadhan ini, sudah sesuai dengan yang dianjurkan oleh Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam?
+++
Dengan ini rubrik dialog sebelumnya kami tutup, dan kami menyampaikan terima kasih atas partisipasi dan pendapatnya.